Menghidupkan Tembok Temindung Creative Hub dengan Grafiti

progreskaltim.id Vandalisme kerap jadi label yang melekat pada karya grafiti. Coretan pilox di tembok dianggap merusak pemandangan kota, dipandang tak bermakna.

Bagi komunitas Warga Sekitar [WKT], setiap goresan justru perlawanan terhadap stigma. Kelompok yang berbasis di Samarinda ini, ingin membuktikan bahwa grafiti bukan perusakan, melainkan karya seni.

BacaJuga

Nama Zonk muncul dari lingkaran itu. Seniman berusia 23 tahun itu memilih nama pena yang merepresentasikan semangat masa muda yang tumbuh dengan segala keterbatasan, namun tetap mencari cara untuk bersuara.

“Aku merasa kehidupanku kurang beruntung. Dengan nama Zonk, itu aku banget,” ucap Zonk, yang enggan membeberkan identitas aslinya, dengan alasan kultur grafiti yang menghargai tradisi anonim dalam seni jalanan.

Sejak 2018, Zonk sudah akrab dengan bau cat murah dan bunyi semprot pilox. Dinding-dinding dari bangunan kota jadi kanvas alternatifnya.

Momen pentingnya, Zonk melahirkan sebuah karya berjudul Funky di dinding Temindung Creative Hub, lokasi bekas bandara pertama di Kota Tepian yang kini jadi ruang kreatif. Karya itu lahir dalam gelaran tahunan King Royal Pride, ajang grafiti yang mempertemukan seniman Samarinda dan Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Membentuk Funky di dinding tua

Saat itu Zonk berdiri di depan dinding kusam, menyemprotkan warna hitam sebagai dasar. Perlahan, huruf-huruf bertuliskan Funky mulai muncul.

Ia lanjut menambahkan detail dengan merah dan kuning, mempertegas garis tepi, memberi nyawa pada gambar. Sesekali ia mundur beberapa langkah, menghela nafas, menilik hasil kerjanya. Lalu kembali maju, menyemprot lagi, menyempurnakan detail demi detail.

Tidak ada teknik rahasia. “Enggak ada sih, paling cuma mainin warna, pakai cat murah juga,” katanya merendah.

Bagi Zonk, lafal Funky merekam semangat masa muda yang terhimpit keterbatasan dan pencarian pengakuan sosial.

“Grafiti di Samarindai ini belum bisa diterima penuh. Masih sering dianggap merusak properti, dibilang corat-coret saja,” tutur lulusan universitas ternama di Samarinda itu.

Stigma itu bukan hanya kata-kata. Zonk bercerita, tak jarang seniman grafiti pemula dipukul warga atau dipalak jika tertangkap basah.

“Kebanyakan dari mereka ini yang cuman belajar dari internet. Tanpa pemahaman yang mendalam di lapangan,” urai Zonk.

Bagi Zonk, alasan bertahan di dunia grafiti sederhana, yakni kebersamaan. Komunitas ini memberi ruang belajar. Pun membuka jejaring hingga ke luar kota. Di situlah inspirasi bertambah, peluang penghasilan muncul, dan stigma perlahan bisa dilawan.

“Acara grafiti makin sering, teman-teman juga enggak berhenti gambar. Jadi makin lama makin ditermia di Samarinda.

Selebrasi seniman grafiti dalam King Royal Pride

Gelaran King Royal Pride menjadi momentum penting. Sejak bangunan eks Bandara Temindung disulap menjadi Temindung Creative Hub, dinding-dindingnya diserahkan pada seniman.

Pada 13-14 September 2025, sebanyak 20 seniman grafiti dari Samarinda dan Tenggarong meramaikan acara itu. Tidak hanya WKT, komunitas baru pun ikut ambil bagian. Acara ini diinisiasi oleh Diton King, produsen cat pilox yang memberi ruang gratis bagi pelaku UMKM untuk berjualan.

“Betul-betul selebrasi. Ajang silaturahmi, gambar bareng, biar grafiti makin diterima,” kata Zonk, menutup sesi wawancara.

Penulis: Haeda Dyah Masna Rahmadani

Editor: Ridho

Bagikan:

Discussion about this post

Populer

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10