progreskaltim.id Kekurangan guru di kawasan perbatasan mendorong Bonifasius Baing pulang ke kampung halaman. Berbekal ijazah SMA hasil merantau menimba ilmu di Kota Samarinda, Baing memberanikan diri melamar menjadi guru. Di tahun 2003, ketika ia berusia 20 tahun, Baing resmi menjadi guru honorer di SDN 001 Kampung Tiong Bu’u, Kecamatan Long Apari.
Kala itu, Kecamatan Long Apari masih menjadi bagian dari Kabupaten Kutai Barat. Daerah yang berbatasan dengan Negeri Jiran Malaysia ini tergolong daerah 3T (terdepan, terjauh dan tertinggal).
Menjadi guru berstatus honorer tak membuatnya berkecil hati. Di dalam hati kecilnya, menjadi guru apalagi di pedalaman adalah panggilan jiwa.
Masa-masa awal menjadi guru di kampung pedalam di hulu Sungai Mahakam ini tidak mudah. Kekurangan fasilitas dan gaji kerap menemani kesehariannya.
Baing mencoba mengingat, gaji pertamanya sebagai guru honorer di perbatasan sekitar Rp 700 ribu. Bagi masyarakat perbatasan, uang segitu terhitung kecil. Mengingat, semua bahan kebutuhan pokok lebih mahal 2-3 kali lipat lebih mahal dibanding kota lain di Kaltim. Sebab, harus diangkut melewati jeram-jeram ganas nan sukar.
Untuk mencukupi kebutuhan harian, selepas mengajar, Baing terpaksa harus mengerjakan berbagai kerja sampingan. Mulai dari membantu tetangga di ladang dan kerja serabutan lainnya. Suka duka menjadi guru honorer ia jalani selama 18 tahun.
“Kita sering ngebon di toko. Nanti kalau gajian dibayar,” ujar Baing Senin, 27 Februari 2022.
Di lubuk hati terkecilnya, Baing sebenarnya ingin lebih sejahtera. Salah satu jalannya dengan naik kelas menjadi PNS atau menjadi Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK). Sayang, ia kerap terbentur persyaratan ijazah S1.
Bagi guru di kawasan perbatasan sepertinya, mendapat gelar S1 bukan perkara mudah dan murah. Mereka harus mengeluarkan biaya kuliah dan transportasi ekstra. Paling tidak untuk berkuliah di universitas terdekat di Kota Samarinda.
Sebenarnya, Pemkab Mahulu telah memberikannya kesempatan beasiswa kuliah S1 di Universitas Terbuka tahun 2022 lalu. Pembelajaran lewat daring. Namun, lagi-lagi kendala jaringan dan kesibukan lain menjadi kendala lain.
Setelah 18 tahun mengabdi, nasib honorer seperti Baing kini di ujung tanduk. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi akan menghapus sistem tenaga honorer mulai 28 November 2023.
Penghapusan sistem honorer ini merupakan implikasi dari pemberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Di pasal 99 ayat (1) PP tersebut menyebutkan, lima tahun sejak PP ini diundangkan — 28 November 2023, status kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah pusat dan daerah hanya ada dua. Yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Tidak ada nomenklatur mengenai tenaga honorer. Pegawai honorer ibarat pegawai kelas tiga.
Di ayat selanjutnya, dalam jangka 5 tahun sebagaimana ayat 1, pegawai non-PNS dapat diangkat menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PP ini.
Baing yang belum menggengam gelar S1 untuk mendaftar PPPK mengaku hanya bisa pasrah atas kebijakan pemerintah ini. Hanya saja, bapak tiga anak ini berharap pemerintah lebih bijak menyikapi berbagai kesulitan tenaga honorer dan belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Terkhusus pegawai non PNS seperti dirinya di daerah perbatasan.
“Kalau di kota besar, kampus ada di depan pintu. Kalau kita di perbatasan susah sekali,” keluh Baing.
Perbaiki Tata Kelola
Ketua Forum Solidaritas Honorer Honorer Kaltim, Wahyuddin menyampaikan jajarannya sudah beberapa kali bertemu dengan Kementerian PAN RB membahas nasib honorer di Kaltim. Pertemuan itu berbuah sekitar 300an honorer di Samarinda diangkat menjadi PPPK pada Maret 2023 mendatang.
Hanya saja pengangkatan itu belum menjawab masalah besar nasib honorer lainnya di Kaltim. Pemerintah masih berfokus merekrut honorer sesuai kebutuhan seperti pendidikan dan tenaga kesehatan.
“Masih ada tenaga honorer yang belum bisa diangkat seperti tenaga keamanan, administrasi pendidikan dan lainnya,” ujarnya kepada kaltimkece.id.
Agar nasib para honorer tidak terkatung-katung, Wahyuddin mendesak pemerintah daerah di Kaltim memperbaiki tata kelola dan pemetaan kebutuhan dan kualifikasi honorer. Langkah ini, sambung dia penting, agar diketahui formasi dan kualifikasi honorer untuk seleksi PPPK dan CPNS.
Di sisi lain, tambah dia, upaya ini merupakan bagian agar pelayanan publik tidak terganggu seandainya honorer benar-benar dihapus. Sebab, dari penilaiannya, honorer berperan penting dalam menjalankan roda birokrasi khususnya di bidang administrasi.
“Jika tidak ada honorer, administrasi siapa yang pegang. Sekarang kita kekurangan tenaga,” katanya.
Wahyuddin menyadari, pemerintah saat ini dalam kondisi dilema. Opsi mengangkat sebagian honorer sebagai PPPK belum bisa mengakomodasi banyaknya honorer di Kaltim. Karena itu, ia pemerintah pusat memberikan kewenangan daerah untuk membuat peraturan gubernur atau bupati soal pengangkatan honorer di bawah pemantauan pemerintah.
“Jadi, tidak bisa lagi menitip honorer sembarangan. Harus berdasarkan evaluasi dan pemetaan kebutuhan kerja,” katanya.
Saat ini Badan Kepegawaian Daerah Kaltim masih menunggu hasil pemetaan nasional dari Kementerian PAN RB tentang kualifikasi non ASN ini. Pemetaan berkaitan dengan kualifikasi honorer untuk PPPK maupun analisis kebutuhan kerja. Saat ini ia mencatat ada sekitar 56 ribu pegawai honorer di Kaltim. Sekitar 12 ribuan bertugas di berbagai instansi di Pemprov Kaltim.
“Belum keluar hasil tertulisnya. Nanti, hasil pemetaan diambil langkah strategis akan diambil menyelesaikan permasalahan non ASN sebelum 28 November 2023,” kata Kepala Bidang Pengadaan, Pemberhentian dan Informasi ASN, BKD Kaltim, Andri Prayugo, Selasa, 28 Februari 2023 didampingi Analis Kepegawaian Muda, Reza Febrianto.
Dia menggarisbawahi, pemerintah pusat dan provinsi berkomitmen mencari solusi honorer menjelang deadline 28 November 2023 mendatang. Selain pemetaan, pemerintah sedang memitigasi dampak penerapan ekonomi, sosial dan lainnya sebelum batas akhir status honorer 28 November 2023 sebagaimana diatur dalam PP tersebut. Beberapa opsi sedang dikaji untuk distribusi honorer yang tidak terserap sebagai ASN.
Langkah mitigasi pertama dari hasil rapat ASN nasional beberapa waktu lalu se-Indonesia, terang Reza adalah bersinergi dengan swasta dan BUMN.
“Kita buat MoU agar teman-teman honorer yang tidak tercover di PPPK bisa diredistribusi ke sana,” kata Reza.
Langkah kedua, yakni pemerintah memberikan pelatihan kepada non ASN agar lebih mandiri dengan membuka usaha jika tidak lagi bekerja di pemerintahan. Melibatkan pemangku kebijakan lain. Bisa juga kemudahan pinjaman usaha.
“Belum ada pelatihan berskala nasional atau daerah. Ketika nanti ada pemetaan dari pusat, daerah akan koordinasi dengan instansi terkait,” katanya.
Tiba Masa Tiba Akal
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengingatkan kebijakan penghapusan tenaga honorer merupakan perintah Peraturan Pemerintah nomor 49 nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah. Pria yang sedang menyelesaikan studi S3 hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada ini menilai hanya ada dua langkah yang bisa diambil pemerintah daerah mengubah aturan batas akhir 28 November 2023.
Yaitu meminta PP direvisi oleh pemerintah atau melalui perintah pengadilan melalui uji materi ke Mahkamah Agung.
Jika tak menggunakan jalur resmi tersebut, Herdiansyah menyarankan gubernur mempertimbangkan strategi lain. Yakni menggalang dukungan dan lobi-lobi ke pemerintah pusat agar perkrutan tenaga honorer menjadi PPPK dipermudah.
Namun, sambung dia, strategi ini membutuhkan pemetaan dan pendataan presisi jumlah honorer yang berpotensi diangkat menjadi PPPK secara objektif. Herdiansyah menggarisbawahi, seharunya, pendataan dan pelatihan ekonomi untuk distribusi honorer ke bidang pekerjaan lain dilakukan sejak PP 49 nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah diterbitkan 28 November 2018 lalu. Bukannya mendekati batas akhir penetapan aturan tersebut 28 November 2023.
“Problem ini saya pikir bisa diprediksi. Jadi bisa dikalkulasi sejak awal. Jangan, tiba masa, tiba akal,” katanya.
Jalan Tengah
Gubernur Kaltim, Isran Noor sudah berkali-kali menyuarakan persoalanan honorer di Kaltim dan Indonesia di berbagai forum. Terbaru, Isran yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menyampaikan langsung persoalan tenaga honorer ini kepada Presiden Jokowi dan Menteri PAN RB, Abdullah Azwar Anas ketika membuka Rakernas APPSI di Balikpapan, 23 Februari 2023.
Isran menilai, tenaga honor yang menjadi guru, tenaga kesehatan, penyuluh pertanian dan bidang layanan publik lainnya jumlahnya banyak. Isran khawatir, penghapusan ini bisa mengganggu pelayanan publik.
“Kenapa harus penghapusan. Sepanjang pemerintah belum bisa menyiapkan lapangan kerja di luar itu,” terang Isran di hadapan presiden, menteri dan puluhan gubernur se-Indonesia.
Menanggapi keluhan tersebut, Presiden Jokowi sudah berkomunikasi langsung dengan Ketua APPSI dan MenPAN-RB, Azwar Anas. Presiden tak menampik, masih banyak tenaga honorer di provinsi, kabupaten kota lain di Indonesia.
“Pagi tadi, saya langsung telepon Menteri PAN-RB. Urusan ini masih digodok. Tapi, saya minta carikan jalan tengan yang baik. Karena di provinsi masih ada ribuan. Di kabupaten masih ada ratusan,” terang Presiden Jokowi.
Menpa RB Azwar Anas sudah berkomunikasi dengan berbagai instansi di pusat. Sejauh ini dia membuka tiga opsi. Pertama, mengangkat seluruh honorer. Memberhentikan semua honorer dan mengangkat sebagian menjadi PPPK.
Menteri PAN-RB, Abdullah Azwar Anas mengaku sudah bertemu dan membentuk tim bersama APPSI, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkesi), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indoensia (Apeksi) dan DPR mencari jalan tengah.
“Tidak ada penambahan anggaran, tapi kalau bisa tidak ada pemberhentian tenaga honorer,” katanya dalam Rakernas APPSI di Balikapapan.
Sejauh ini, ada tiga opsi menyesuaikan permasalahan honorer ini. Pertama, seluruhnya diangkat. Kedua seluruhnya diberhentikan dan ketiga diangkat dengan prioritas. Opsi pertama dan kedua, terangnya sulit diterapkan mengingat kondisi keuangan rawan gejolak sosial. Opsi ketiga juga dinilai belum cukup mengakomodasi jumlah honorer di seluruh Indonesia yang mencapai 2,3 juta orang.
“Opsi lain yang sedang didiskusikan oleh tim adalah pengangkatan menjadi PPPK Terikat dan PPPK bebas,” ungkap Azwar Annas.
Discussion about this post