progreskaltim.id Keputusan Rapat Paripurna kedua masa persidangan 2025 yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Kamis, 23 Januari 2025 membuat heboh publik. Pimpinan rapat, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan seluruh fraksi menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau RUU Minerba sebagai menjadi usul inisiatif DPR RI. Salah satu poin perubahan dalam RUU itu adalah pemberian izin tambang secara prioritas kepada perguruan tinggi.
Kesepakatan itu tergolong cepat. Mengingat, tiga hari sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati hasil penyusunan RUU Minerba menjadi usulan inisiatif DPR.
Sufmi Dasco mengatakan tak mempermasalahkan usulan kampus mengelola izin tambang dengan tujuan mencari dana bagi universitas.
“Mungkin mekanisme pengerjaan dan lain-lainnya itu silakan nanti diatur di dalam aturan yang ada, sehingga kemudian pemberian (izin) itu juga memberikan manfaat kepada universitas yang dimaksud,” kata dia, Kamis, 23 Januari 2025 di gedung parlemen, Senayan, dikutip dari laman an tempo.co.
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan mengatakan RUU Minerba berisi ketentuan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan cara lelang atau prioritas pada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan, organisasi masyarakat (ormas), dan perguruan tinggi.
“Pemerintah ingin memberikan peluang kepada perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan,” kata Bob Hasan yang juga politikus Partai Gerindra usai pleno di kompleks parlemen, Senayan, Senin, 20 Januari 2025 dikutip dari laman tempo.co.
Sikap publik terbelah terkait usulan ini. Ada yang mendukung, ada yang menolak.
Penolakan pertama dilontarkan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi. Fahmi berpendapat, rencana ini berpotensi melanggar Undang-undang Pendidikan. Menurut dia, seharusnya perguran tinggi melaksanakan tugas sebagaimana Tri Dharma Perguran Tinggi. Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Fahmi menduga, usulan pemberian konsesi tambang kepada perguran tinggi ini bermaksud menundukkan perguran tinggi dalam menjalankan kontrol sosial kepada pemerintah.
Kritik juga datang dari Dosen di Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Masduki. Masduki menilai, pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) khususnya untuk perguruan tinggi berpotensi mengancam otonomi dan kebebasan akademik.
Mengingat, kampus seharusnya menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan kontrol sosial. Baginya, jika negara ingin sehat dan demoktatis, perlu ada oposisi dan kontrol sosial. Salah satunya dari masyarakat sipil seperti dari kalangan akademikus.
”Sesuai semangat atau warisan reformasi agar negara demokrasi terwujud, yakni membangun masyarakat sipil atau madani. Ini sepertinya mau dihapus dengan memberi izin WIUP kepada ormas keagamaan dan perguruan tinggi,” ungkapnya.
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Ridho Kresna Wattimena memberi penjelasan tambahan.
Ia menilai, perguran tinggi akan kesulitan mengelola tambang karena tingkat kerumitan teknisnya.
Ridho berujar, jika pemerintah beralasan memberikan kampus akan sulit menghasilkan dana cepat dari usaha pertambangan. Sebab, rata-rata waktu eksplorasi tambang berlangsung 5-10 tahun. Belum lagi durasi waktu eksploitasinya.
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil menjelaskan rencana pemberian WIUP kepada perguran tinggi dan ormas akan menimbulkan konflik horizontal baru masyarakat.
“Karena banyak IUP yang diberikan merupakan IUP lama yang di lokasi tersebut sudah ada masyarakatnya,” ujarnya ketika dihubungi oleh Tempo Senin, 20 Januari 2025.
Sementara itu, dukungan perguran tinggi mengelola WIUP datang dari Wakil Ketua Umum Forum Rektor Indonesia, Didin Muhafidin. Didin menilai, langkah ini sangat positif asalkan perguran tinggi memiliki status Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan unit usaha sendiri.
“Perguruan tinggi seperti ITB atau UGM, yang sudah profesional dan memiliki unit usaha, sebenarnya sudah biasa mendapat kontrak di sektor pertambangan,” ujar Didin dikutip dari kompas.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Penulis : Heeda Dyah Masna Rahmadani
Sumber : tempo.co
Discussion about this post