Omon-omon Pensiun PLTU Batubara Indonesia 2060

progreskaltim.id Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hukum percepatan transisi energi terbarukan berkeadilan. Langkah ini sebagai bagian mencapai target ambisius pemerintah mencapai nol emisi pada tahun 2060. Meski demikian, sejumlah penggiat lingkungan skeptis dengan target ini. 

Keraguan pertama datang dari peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Syaharani. Sebagai informasi, ICEL merupakan organisasi non pemerintah (NGO) di bidang penelitian, advokasi hukum dan kebijakan lingkungan yang berdiri sejak tahun 1993. 

BacaJuga

Syaharani yang akrab disapa Rence tersebut menjelaskan keraguan itu karena terjadi kontradiksi kebijakan transisi energi dalam negeri dan kesepakatan luar negeri. 

Mengingat pemerintah Indonesia sudah mengikat Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JEPT) Indonesia. Kesepakatan itu diteken Presiden Jokowi 15 November 2022 di KTT Pemimpin G20 di Bali dengan International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang.

Inti dari JEPT Indonesia adalah perjanjian mobilisasi pendanaan publik dan swasta senilai USD20 miliar guna mendukung transisi energi adil di Indonesia. 

Komitmen pembiayaan JETP berasal dari sumber-sumber publik dan swasta dalam berbagai jenis dan mekanisme. Terdapat pembiayaan publik sebesar USD11,6 miliar dari negara-negara IPG dan setidaknya USD10 miliar pembiayaan swasta dari 7 bank-bank GFANZ.

Kesepakatan JEPT Indonesia membuat beberapa poin. Di antaranya ; menargetkan pembatasan total emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 sebesar 290 juta ton CO2eq. Selanjutnya mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan setidaknya 34 persen di seluruh pembangkit listrik. 

Terakhir, menetapkan tujuan mencapai Net Zero Emission di sektor ketenagalistrikan tahun 2050. 

Sayangnya, terang Rence, ketika kesepakatan itu diteken, Pemerintah Indonesia dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah kadung menetapkan target bauran energi batubara lebih tinggi bagi PLTU dibanding kesepakatan JEPT. 

Ini bisa dilihat dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun yang diteken tahun 2021. 

Dokumen itu kata Rence menjadi peta jalan pembangunan belasan PLTU di Pulau Jawa berbahan bakar batubara. 

“Jadi kita lihat, apakah Indonesia itu beneran pengen pensiunkam PLTU. Jawabannya sih enggak ya. Jadi sampai 2060 kita masih punya 18% penggunaan energi fosil (penggunaan bauran batubara (cofiring untuk PLTU).” ungkap Rence, Kamis, 7 Agustus 2025 di Samarinda. 

Hari itu, Rence menjadi salah satu pembicara dalam Lokakarya bertajuk “Transisi Energi Menentang Dominasi Pertambangan di Kaltim Kaltim,”. Lokakarya tersebut diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Cerah. 

Kembali ke Rence. Pemerintah Indonesia sebenarnya mencoba memperbaiki situasi ini. Di antaranya dengan membuat beberapa aturan terkait transisi energi. 

Pertama, Peraturan Presiden 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 10/2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Poin intinya, berisi konsep pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar energi fosil seperti batubara. 

Sayangnya. Lagi-lagi Rence menyebut, aturan ini bakal sulit mengejar target nol emisi ketenagalistrikan tahun 2050 sebagaimana kesepakatan JEPT Indonesia. 

“Ada beberapa masalah teknis dan terpenting PLN harus mengacu kepada RUKN dan RUPTL. Jadi kalau target ini gak masuk ke dua dokumen itu, ya gak bisa tercapai.” tegasnya. 

Sebelumnya Pemerintah terus mencari dukungan untuk memensiunkan dini PLTU yang sesuai kriteria agar tidak menimbulkan gejolak seperti kenaikan biaya pokok penyediaan listrik (BPP) dan kekurangan pasokan listrik. 

“Kita sampai sekarang terus mencari dukungan. Dukungan karena untuk istirahat dini, untuk pensiun dini itu kita tidak mau tuh ada nanti BPP naik, nanti kekurangan listrik, atau uang pemerintahnya keluar. Jadi kira-kira tiga hal itu yang kita jaga,” Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM. 

Terkait dengan PLTU-PLTU mana saja yang akan dipensiun dinikan, Dadan menjelaskan saat ini belum ditentukan PLTU yang mana namun dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada Perpres dan pertimbangan keekonomian PLTU itu sendiri. 

“13 PLTU dengan total kapasitas 4,8 GW seluruhnya milik PLN, saat ini kita belum menetapkan ini harus dipensiun dinikan kapan? Itu belum. Karena itu nanti basisnya kepada keekonomian,” tutup Dadan.

Penulis : Haeda Dyah Masna Rahmadani

Editor : Nalendro Priambodo

Bagikan:

Discussion about this post

Populer

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10