Gasifikasi Batu Bara (DME), Siapa Untung Siapa Buntung 

progreskaltim.id Presiden Prabowo Subianto kembali menghidupkan program gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) guna menggantikan Gas Minyak Cair (elpiji). Kritik dari berbagai pihak mewarnai drama mundur maju mega proyek energi ambisius ini. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya. Bagi negara sampai ibu rumah tangga. Untung atau buntung ?

Beberapa bulan setelah menjabat, pemerintahan Prabowo resmi mengumumkan rencana 21 proyek hilirisasi DME. Nilai investasinya ditaksir sekitar Rp 180 triliun (asumsi kurs Rp 16.450). Salah satu penyokong dananya adalah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danatara Indonesia). 

BacaJuga

Danantara adalah badan pengelola investasi strategis yang mengonsolidasikan serta mengoptimalkan investasi pemerintah. 

Diperkirakan Danantara akan mengelola aset yang mayoritas bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nilai total aset ditaksir Rp 14.678 triliun

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menjelaskan hilirisasi batubara lewat DME bertujuan mengurangi ketergantungan energi. Khususnya pada pasokan dari investor asing dan lebih mengandalkan sumber daya dari dalam negeri. Ketergantungan pasokan elpiji dari luar negeri dinilai pemerintah terus membebani keuangan negara. 

Nantinya, proyek DME difokuskan di provinsi yang memiliki cadangan dan produksi batu bara. Seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. 

“Sekarang kita tidak butuh investor, negara semua lewat kebijakan Bapak Presiden dengan memanfaatkan resource dalam negeri. Yang kita butuh mereka adalah teknologinya, yang kita butuh uangnya capex-nya semua dari pemerintah dan dari swasta nasional, kemudian bahan bakunya dari kita, dan off taker-nya pun dari kita,” ucap Bahlil dikutip dari laman resmi Biro Pers, Media dan Komunikasi Sekretariat Presiden. 

Maju Mundur Proyek DME Indonesia

DME merupakan salah satu jenis alternatif bahan bakar pengganti elpiji. Mengutip situs Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), karakteristik DME memiliki kemiripan dengan komponen elpiji, yakni terdiri atas propan dan butana, sehingga penanganan DME dapat diterapkan sesuai elpiji.

DME berasal dari berbagai sumber, baik bahan bakar fosil maupun yang dapat diperbarui. DME adalah senyawa bening yang tidak berwarna, ramah lingkungan dan tidak beracun, tidak merusak ozon, tidak menghasilkan particulate matter (PM) dan NOx, tidak mengandung sulfur, mempunyai nyala api biru, memiliki berat jenis 0,74 pada 60/60 oF.

DME pada kondisi ruang yaitu 250C dan 1 atm berupa senyawa stabil berbentuk uap dengan tekanan uap jenuh sebesar 120 psig (8,16 atm). DME ini mempunyai kesetaraan energi dengan LPG berkisar 1,56-1,76 dengan nilai kalor DME sebesar 30,5 dan LPG 50,56 MJ/kg.

Pada awalnya DME digunakan sebagai sebagai solvent, aerosol propellant, dan refrigerant. Namun saat ini, DME sudah banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, rumah tangga, dan genset.

Mengutip situs Alternative Fuels Data Centre Kementerian Energi Amerika Serikat, DME diproduksi dari biomassa, metanol dan bahan bakar fosil seperti gas alam. DME juga bisa diproduksi dari gas sintesis yang diproduksi dari gas alam, batubara dan biomassa. DME juga bisa diproduksi langsung dari metanol melalui reaksi dehidrasi. 

Di Indonesia, pabrik pembuatan DME dari batu bara diresmikan Presiden Jokowi di Muara Enim, Sumatera Selatan tahun 2022. Proyek bekerjasama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero), dan Air Products & Chemicals Inc. 

Proyek diperkirakan menghasilkan 1,4 juta ton DME atau setara dengan 1 juta ton impor LPG dengan input 6 juta ton batu bara per tahun. 

Air Products & Chemicals Inc juga sempat berencana membangun fasilitas serupa di Desa Sekerat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. 

Setali tiga uang, perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, tersebut membatalkan investasi di Muara Enim dan Kutai Timur pada 2023 lalu. 

Menteri ESDM kala itu, Arifin Tasrif menjelaskan alasan dibalik hengkangnya Air Products & Chemicals Inc dari kedua proyek DME tersebut.   

Arifin mengatakan, hal ini disebabkan iklim investasi. Sebab, di saat bersamaan proyek DME di Amerika Serikat dinilai perusahaan lebih menarik ketimbang Indonesia. 

“Air Products kemarin dia merasa lebih menarik bisnis dia ke sana,” kata Arifin 17 Maret 2023 lalu kepada sejumlah jurnalis. 

Rencana investasi DME kembali muncul ke permukaan setelah Presiden Prabowo memutuskan 21 proyek DME di Indonesia. 

Untung atau Buntung ?

Balitbang Kementerian ESDM menganalisis proyek DME layak secara ekonomi. Ini berdasarkan Studi Kelayakan yang dilakukan di PT Bukit Asam TPK. Pemerintah mengklaim akan menghemat duit negara hingga Rp 8,7 triliun. 

Perhitungan penghematan belanja negara dari penggunaan DME juga dirilis dalam jurnal yang diterbitkan oleh E3S Web of Conferences. Penelitian yang dirilis tahun 2018 lalu ini menyebut akan ada penghematan belanja negara sekitar Rp 5.3 triliun. 

Ini berdasarkan penghitungan harga pembebanan biaya pengiriman (FOB) DME di tempat produksi, biaya angkut, pencampuran dan penanganan. 

Perhitungan berbeda disampaikan oleh Institute for Economics and Financial Analysis (IIEFA). Studi tahun 2020 menyatakan pemerintah akan membayar lebih besar untuk energi yang lebih sedikit menggunakan DME. 

Analisis ini dilakukan pada pabrik PT  Bukit Asam TPK (PTBA) dengan asumsi harga gas LPG USD 470 per ton. Negara mengalami kerugian USD 377 Juta (Rp 6,19 triliun) per tahun dibandingkan dengan impor LPG hanya sebesar 19 juta USD (Rp 312 Miliar).  

“Pabrik DME Indonesia tidak dapat dibenarkan secara ekonomi. Pabrik DME yang diusulkan akan merugi US$377 juta per tahun setelah dikurangi biaya operasional dan keuangan. Ini akan melebihi penghematan dari impor LPG yang lebih rendah sebesar US$19 juta,” Ghee Peh, Analis Keuangan IEEFA dalam studinya. 

Studi IEEFA menunjukkan biaya produksi DME dapat menyentuh USD 470 (Rp 7,7 juta dengan kurs Rp 16.377) per ton. Hampir dua kali lipat biaya produksi dibandingkan harga elpiji sebesar USD 365 atau Rp 5,9 juta per per ton. 

Lagi-lagi, studi tersebut bilang, biaya produksi DME menjadi lebih mahal apabila pemerintah merealisasikan pemasangan teknologi penangkap carbon (CSS) di proyek gasifikasi batu bara untuk menekan emisi rumah kaca. 

Proyek yang akan melepas 3 juta ton CO₂ per tahun ini memakan biaya penyimpanan karbon mencapai US$ 50-55 per ton CO₂, dan total investasi injeksi mencapai US$1,6 miliar. 

Studi itu juga mengatakan, proyek DME memang mampu mengurangi impor elpiji sebesar 980 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu pemerintah hanya mampu menghemat Rp 5,86 triliun. Masih kurang Rp 311,16 miliar untuk menutup total kerugian operasional. 

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa proyek hilirisasi batu bara menghambat transisi energi yang merupakan komitmen Presiden Prabowo Subianto. 

“Kita ingin ada upaya untuk coal phase down hingga 2040 sesuai skenario dari Prabowo di forum G20 itu. Jadi kalau arahnya malah hilirisasinya batu bara enggak tepat,” tuturnya kepada kumparan.

Sementara dari segi perekonomian  Bhima menjelaskan bahwa investasi menggunakan Danantara tidak layak dilanjutkan karena hanya membuang-buang anggaran. Terlebih dari UU Cipta Kerja, batu bara pada proyek DME ini mendapatkan royalti 0 persen yang berimbas kepada kemerosotan pendapatan dari royalti batubara mencapai Rp 33,8 triliun per tahun.

Potensi Kuras Kantong Rakyat

Penggunaan DME berpotensi menguras dompet warga dibandingkan penggunaan elpiji. Ini dikarenakan DME memiliki kandungan kalor lebih rendah. Yakni, 7,749 kcal/kg. Sementara LPG bernilai kalor 12,076 kcal/kg. Artinya, perbandingan kalori DME dan elpiji sekitar 1 berbanding 1,6. 

Sebagai contoh, jika rumah tangga biasa menggunakan 1 kilogram elpiji, mereka perlu menggunakan 1,6 kilogram DME untuk mendapatkan panas yang setara. Dengan kata lain, tabung akan cepat habis, kantong pun terkuras. Proses memasak pun diprediksi lebih lama menggunakan DME. 

Titik didih DME yang lebih tinggi (-25°C) dibandingkan dengan LPG (-42°C) juga memaksa masyarakat untuk membeli kompor baru. Semakin rendah titik didih suatu zat, semakin tinggi tekanan uapnya pada suhu ruangan.

Sementara kompor LPG yang ada saat ini tidak dapat mengalirkan DME dengan efisiensi yang sama, sehingga perlu modifikasi atau perangkat tambahan. Ini berarti penggunaan DME akan memicu biaya tambahan.

Penulis : Haeda Dyah Masna Rahmadani

Editor : Nalendro Priambodo

Bagikan:

Discussion about this post

Populer

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10